Negeriku
Masih Dalam Impian
mana
ada negeri sesubur negeriku?
sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung
tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung
perabot-perabot orang kaya didunia
sawahnya tak hanya menumbuhkan padi, tebu, dan jagung
tapi juga pabrik, tempat rekreasi, dan gedung
perabot-perabot orang kaya didunia
dan
burung-burung indah piaraan mereka
berasal dari hutanku
ikan-ikan pilihan yang mereka santap
bermula dari lautku
emas dan perak perhiasan mereka
digali dari tambangku
air bersih yang mereka minum
bersumber dari keringatku
berasal dari hutanku
ikan-ikan pilihan yang mereka santap
bermula dari lautku
emas dan perak perhiasan mereka
digali dari tambangku
air bersih yang mereka minum
bersumber dari keringatku
mana
ada negeri sekaya negeriku?
majikan-majikan bangsaku
memiliki buruh-buruh mancanegara
brankas-brankas ternama di mana-mana
menyimpan harta-hartaku
negeriku menumbuhkan konglomerat
dan mengikis habis kaum melarat
rata-rata pemimpin negeriku
dan handai taulannya
terkaya di dunia
majikan-majikan bangsaku
memiliki buruh-buruh mancanegara
brankas-brankas ternama di mana-mana
menyimpan harta-hartaku
negeriku menumbuhkan konglomerat
dan mengikis habis kaum melarat
rata-rata pemimpin negeriku
dan handai taulannya
terkaya di dunia
mana
ada negeri semakmur negeriku
penganggur-penganggur diberi perumahan
gaji dan pensiun setiap bulan
rakyat-rakyat kecil menyumbang
negara tanpa imbalan
rampok-rampok diberi rekomendasi
dengan kop sakti instansi
maling-maling diberi konsesi
tikus dan kucing
dengan asyik berkolusi
penganggur-penganggur diberi perumahan
gaji dan pensiun setiap bulan
rakyat-rakyat kecil menyumbang
negara tanpa imbalan
rampok-rampok diberi rekomendasi
dengan kop sakti instansi
maling-maling diberi konsesi
tikus dan kucing
dengan asyik berkolusi
-puisi
negeriku karya gus mus
Keadilan
yang ku dengar dulu dari kakekku seolah tak membekas dan kini menjadi abu.
Negeri yang gemah ripah loh jinawi yang sering menjadi kebanggaanku dulu, taat
kala ia bercerita mengambarkan indahnya negeriku seolah mati dalam angan. Alam
yang menawarkan keindahan dan memamerkan hasil buminya untuk dapat dinikmati
kini hanya tersisa hayalan belaka. Seperti donggeng seorang tuyul yang ingin
mendapat bulan yang menjadi candaanku dulu bersama kawan kawan sebaya. Indah
alamku seolah menjadi surga yang menjanjikan kenikmatan, biru lautku yang damai
ketika dipandang dan menjanjikan kenikmatan.
Semua itu hilang taat kala aku bisa membayangkan, betapa
sengsaranya mereka yang duduk dipinggir jalan karena tak dapat mengeyam
pendidikan. Tak berpikir jauh aku taat kala melihat mereka yang duduk
dibelantaran pinggir rel yang penuh dengan alunan musik. Lalu lalang kendaraan
para pemegang kekuasaan yang hanya bisa jadi tontonan. Bukan yang kupikirkan
mengenai mereka tentang pendidikan ?, tapi apakah mereka hari ini sudah makan
?. Melihat mereka ku langsung teringat dengan dongeng kakekku dulu yang
mengambarkan negeri ini gemah ripah lah jinawi, tanpa harus meminta mereka bisa
memakan apa yang dimiliki. Bohong ku dalam batinku berkata. Sampai kata bohong
ku ulangi tiga kali . cerita kakekku semuanya Bohong !!. Apa mungkin itu dulu
??. Aku penuh tanda tanya yang memenuhi otakku sampai ku kembali masuk pintu
asrama.
Kembali kupikirkan kejadian yang kutemui tadi dengan
cerita kakekku. Sambil berbaring, aku melamun mengenai negeriku yang tak
seperti dongeng kakekku. Tak terasa waktu sudah mulai petang dan banyak waktuku
yang terbuang karena memikirkan kondisi yang tak pernah ku bayangkan di negeri
yang katanya subur dan kaya akan sumber daya alam.
Tiba-tiba masuk seorang kawan menegurku karena melihat
aku murung dan melamun kaya orang yang tak punya harapan hidup seperti mereka
yang kulihat tadi. Ada apa kawan ? tanya dia seolah menenangkanku. Tak apa
kawan jawabku sambil menutupi kegelisahanku tadi ?, tak usah kau sembunyikan
dariku kawan aku sudah mengenalmu lama, ceritalah aku tahu kamu lagi ada
masalah. Sambil ku terangkan panjang lebar tentang kejadian yang ku lihat tadi
kepada kawanku itu. Ohhh soal itu to ?? sahut dia sambil belagak begok dan
pura-pura tak cuek karena tak ingin tau. Iya jawabku. Tak usah kau pikirkan hal
yang semacam itu, itu bukan urusanmu, itu urusan mereka yang duduk dibangku
senayan dan yang lalulang mengunakan kendaraan mewah yang sering mengejek saat
hujan. Lalu ketika kita tidak boleh memikirkan hal yang semacam itu, apa masih
kita ingin dijadikan manusia terbaik sahutku. Dia terdiam. Lalu dia bercerita:
begini kawan, sebetulnya negeri kita adalah negeri yang kaya, benar seperti apa
yang dikatakan kakekmu. Tapi sayang, dari dulu negeri kita dipimpin oleh
pemimpin yang tak punya hati kemanusiaan. Sehingga dijual semua kekayaan negeri
kita itu.
Mendengar cerita banyak dari kawanku itu membuatku benci
pada negeriku yang kejam. Negeri yang tak punya aturan kemanusiaan!!. Negeri
yang hanya mementingkan golongan sehingga lupa kepada yang bukan golongannya.
Sejak itu aku mulai benci dan tidak mau mengakui bahwa ini negeriku. Negeri ini
hanya negeri kaum burjuis, sedangkan aku ?. seorang anak desa yang berisikan
masa lalu tentang kesuburan tanah desaku. Aku adalah aku, yang ingin berjuang
membela hak-hak para kaum yang terasingkan dan sering dianggap sampah oleh
mereka yang duduk pada bangku nyaman kelas ekslusif yang katanya membela
hak-hak kaum tertindas. Aku ingin membela hak-hak yang menjadi korban
kebohongan dan korban kebejatan mulut para pembangkang.
Tabu memang negeriku, negeriku lucu, negeriku yang tak
seperti cerita-cerita kakekku dulu. Antar umat saling mencaci, yang
mengatasnamakan namakan agama, yang dianggap kaum intelektual, dianggap kaum
ulama’ malah ribut melulu.
Semakin jelas kelucuan negeriku seiring berpindahnya
waktu. Semua bayanganku dulu mengenai negeri yang tentram yang penuh kedamaian
itu seolah hanya cerita masa lalu. Negeriku memang lucu, tak bisa mengambil
pelajaran dari sejarah-sejarah penjajahan. Bagaimana bung tomo mengemborkan
takbir untuk berjuang mati-matian. Bagaimana soedirman yang berjuang walaupun
sakit-sakitan. Bagaimana diponegoro yang berjuang walau melawan kerajaan untuk
melawan penjajahan. Semua itu hanya sejarah yang telah dimakan waktu. Yang
hanya berhenti pada diskusi mahasiswa disudut-sudut warung kopi. Itu sejarah
dan itu masa lalu. Kata-kata ini sering terdengar dari mulut seorang yang
dikatakan intelektual. Apakah mungkin mereka lupa dengan penderitaan dan
perjuangan dulu ? sehingga semena-mena mengunakan kekuasaan ? sahutku dalam
hati
By : Muhammad Abdul
Qoni’ Akmaluddin
Mahasiswa aktif jurusan
PMI uin sunan kaijaga
08989343960
Tidak ada komentar:
Posting Komentar