Kamis, 30 Juni 2016

Peran “Ulama” Djawa Barat dalam Operasi “Pagar Betis”

Penumpasan DI/TII termuat dalam Rencana Pokok (RP) dan Rencana Operasi (RO), sebagai berikut : pada tahun 1958 merupakan tahun kebangkitan pemikiran Kodam III/Siliwangi ke arah pemulihan keamanan di Jawa Barat yang lebih efektif dan efisien. Kemudian lahirnya konsep Perang Wilayah (sudah disahkan dengan Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960 merupakan manifestasi dari Undang-undang Dasar 45, pasal 30 ayat 1, yang menjelaskan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam pembelaan negara. Sementara itu penelitian anti gerilya berjalan terus, dan diantaranya keluarlah Rencana Pokok 211 (RP 211) yang berbunyi “Membatasi gerak dari lawan”.
Menyesuaikan dengan mobilitas DI/TII, maka keluarlah pada waktu itu Rencana Operasi 212 pada 1 Desember 1959. Kemudian bulan Pebruari 1961 dikeluarkan Rencana Operasi 2121 (RO 2121) yang merupakan percepatan dari RO 212, isinya berupa kebijaksanaan bahwa pemulihan keamanan untuk wilayah Jawa Barat akan diselesaikan dalam jangka waktu itu, hanya sampai tahun 1965. Tetapi dalam RO 2121 jangka waktu itu hanya sampai dengan tahun 1962.
Peran Ulama Djawa Barat Pendukung Pagar Betis
Pada tahun 1956, para ulama di Priangan Timur, yang jadi basis utama gerakan DI/TII, mengambil inisiatif untuk mengadakan pertemuan dengan kalangan militer.  Atas prakarsa kalangan militer, maka terbentuklah Badan Musyawarah Alim Ulama(BMAU) pada 18 Maret 1957 di Tasikmalaya. Prakarsa tersebut merupakan bagian dari kebijakan Komandan Resimen 11 Galuh Letkol Syafei Tjakradipura dan Kepala Stafnya Mayor Poniman. Resimen Galuh ini memiliki wilayah kerja Tasikmalaya dan Ciamis (Priangan Timur).
BMAU ini didirikan setelah para ulama, wakil militer dan pemerintah mengadakan pertemuan di Gedung Mitra Batik Tasikmalaya (kini, Toserba Yogya). Ulama yang hadir dalam pertemuan itu adalah KH. Ruhiyat Rois Syuriah Nahdlatul Ulama Cabang Tasikmalaya (Pesantren Cipasung), KH Ishak Farid (Pesantren Cintawana), KH Fathoni (Ciamis), KH Holil Dahu (Ciamis), pengasuh Pondok Pesantren Jamanis, KH O. Hulaimi Ketua Tanfidziayah Nahdlatul Ulama Tasikmalaya (Cikalang Tasikmalaya), KH R. Didi Abdulmadjid, KH. Burhan Sukaratu dan KH.Didi Dzulfadli Kalangsari (Tasikmalaya). Hadir juga Mayor R. Mustari dari Rohis (Perawatan Rohani Islam) Resimen Galuh. Selain itu ada juga Bupati Tasikmalaya dan Bupati Ciamis serta wakil-wakil dari kepolisian dan beberapa partai politik. Pertemuan itu mengambil sejumlah kesepakatan, dan yang ditunjuk memimpin BMAU itu adalah KH. R. Didi Abdulmadjid sebagai Ketua dan KH. Irfan Hilmy sebagai Penulis. Akan tetapi tidak diketemukan suatu dokumentasi dan keterangan bagaimana struktur dan personil selengkapnya dari BMAU ini.
Salah satu tujuan BMAU ini adalah untuk memulihkan stabilitas keamanan di Priangan Timur. BMAU ini juga berfungsi untuk menyelenggarakan kegiatan pengajian, pendidikan, dan dakwah. Dengan demikian, cikal-bakal Majelis Ulama bisa dinyatakan adalah BM-AU ini. Melalui BMAU ini para ulama mewujudkan upaya menjaga keutuhan RI dengan jalur ishlah bainan naas (perdamaian antara sesama manusia).
Pertemuan alim ulama dan Pemerintah, sipil dan militer kemudian berlanjut diadakan pula didaerah lain, seperti Konferensi Alim Ulama Militer se-Kresidenan Banten, pertemuan Ulama Umaro Sumedang pada Juni 1958, Garut dan Bandung pada Juli 1958.
Pada 12 Juli 1958, Staf Penguasa Perang Daerah Swatantra I Jawa Barat mengeluarkan Pedoman Majelis Ulama, dinyatakan Majelis Ulama berasas Islam dan mempunyai tujuan melaksanakan kerjasama dengan alat negara Republik Indonesia dalam bidang tugasnya yang sesuai dengan ajaran Agama Islam. Dan pada 11 Agustus 1958 mengeluarkan Instruksi No.32/8/PPD/1958 kepada Semua Pelaksana Kuasa Perang Di Daerah Swatantra I Jawa Barat untuk membentuk Majelis Ulama didaerahnya masing-masing berdasarkan pada dan sesuai dengan Pedoman terlampir, dan Pelaksana Kuasa Perang yang sudah terlebih dulu membentuk Majelis tersebut supaya menyesuaikannya dengan Pedoman ini.
Sebagai peningkatan dan lebih mengokohkan posisi Majelis Ulama, diselenggarakanlahKonferensi Alim Ulama-Umaro pada 7 9 Oktober 1958 bertepatan dengan 2 – 4 Rabi’ul Tsani 1377 H, di Lembang Bandung, dengan sebuah Panitia Penyelenggara yang dipimpin Let.Kol. Omon Abdurachman sebagai Ketua Umum, seorang Perwira TT III / Siliwangi. Konferensi ini diselenggarakan pasti sudah, untuk mengokohkan kebersamaan dalam menegakkan NKRI. Juru bicara Resimen 11 Galuh dalam Pemandangan umumnya antara lain mengemukakan “Setelah BMAU didirikan atas kebijaksanaan Komandan RI 11 disertai C.PR.A.D-nya dan mendapat sambutan dan dukungan yang hangat daripada ulama make segala kecurigaan, tekanan, fitnahan terhadap alim ulama lenyap dan timbul kerjasama yang erat dan saling harga menghargai disegala lapangan”. Disampaikan pula bahwa: “Rapat Alim Ulama Resimen Infantri 11 tanggal 3 Oktober 1958 di Staff Resimen Infantri 11 menyetujui BMAU diganti manjadi MU”. Dan yang juga menjadi bahan pertimbangan adalah keputusan Konferensi Alim Ulama Militer se-Karesidenan Banten: “mengenai penempatan APRI dan alat negara bersenjata lainnya, harus dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat dan Agama didaerah mereka bertugas”, dan “mengenai para tahanan, terutama alim ulama, yaitu supaya mendapat pelayanan dan perawatan yang layak dan segera dilakukan pemeriksaan dengan care yang jujur dan adil”.
Para tokoh ulama itu pulalah yang kemudian terlibat dalam Konferensi Alim Ulama-Umaro Daerah Swatantra I Jawa Barat di Lembang, Bandung pada 7-9 Oktober 1958. Konferensi tersebut menghasilkan keputusan yang berkaitan dengan tiga persoalan pokok yang dihadapi seat itu yakni (a) usaha menyempurnakan pemulihan keamanan dan pemeliharaannya, (b) usaha menyempurnakan pembangunan dan (c) usaha penyempurnaan pendidikan dan kebudayaan.
Dalam Konferensi Lembang ini hadir memberikan Kata Sambutannya: Menteri Agama,KH. Moh. Ryas, Menteri Negara Urusan Kerjasama Sipil dan Militer, KH.WahibWahab, K.S.A.D. Jenderal A.H. Nasution, Ketua Pengurus Perang Daerah Swatantra I Jawa Barat /Panglima Teritorium III / Siliwangi Kol.RA. Kosasih.
Diantara Keputusan Konferensi ini adalah penegasan “Menyetujui dan Mempertahankan kebijakan Ketua Penguasa Perang Daerah Swatantra I Jawa Barat dalam membentuk Seksi Rohani dan Pendidikan beserta bagian-bagiannya (Lembaga Kesejahteraan Ummat dan “Majelis Ulama”), sebagai badan Kerja Sama Ulama-Militer-Umaro “.
Maka karenanya, personalia dengan struktur yang ditetapkan oleh Staf Penguasa Perang Daerah Swatantra I Jawa Barat No. 53/8/PPD/58 tanggal 22 Agustus 1958 bersama dengan Pedoman Majelis Ulama tanggal 12 Juli 1958, yang telah diuraikan dimuka, mendapat legitimasi yang sangat kuat, untuk menghadapi situasi Jawa Barat pada kala itu.
Dengan modal ini, yang selanjutnya ditempuh jalan gerakan “Pagar Betis” menghadapi DI/TII, telah tercapai pemulihan keamanan di Jawa Barat.
Jendral A.H. Nasution adalah penggerak utama “Rencana Dasar 2,1”, yaitu gagasan yang mendasari : Musuh harus ditahan didaerah-daerah tertentu, dan aksi-aksi Republik harus dipusatkan pada salah satu daerah ini sekaligus, dengan demikian pangkalan musuh ditumpas satu demi satu. Itulah sebabnya, Divisi Siliwangi dengan dibantu Divisi Diponegoro dan Brawijaya, -yang tentu tidak merupakan kekuatan yang cukup-, pada tahun 1960 seluruh penduduk sipil Jawa Barat diturutsertakan dalam apresiasi, dan dibentuklah secara besar-besaran “Pagar Betis”.
Dalam gerakan “Pagar Betis” yang kadang-kadang berlangsung berhari-hari ini, penduduk sipil membentuk garis maju berangsur-angsur, dengan satuan-satuan kecil tiga sampai empat prajurit pada jarak-jarak tertentu, tidak terlalu jauh satu sama lain. Dalam teori, pagar betis ini disokong satuan-satuan militer dibaris depan maupun dibaris belakang. Prajurit dibarisan belakang merupakan semacam cadangan yang dapat digunakan pada tempat-tempat yang sukar dimasuki digunakan taktik tidak dimasuki, tetapi dikepung.
Dalam praktek, Tentara Republik kadang-kadang menggunakan “Pagar Betis” menjadi“Perisai Manusia”. Teknik lain yang digunakan, untuk memaksa pasukan DI/TII menyerah adalah dengan menduduki sawah yang diduga dimiliki atau dikerjakan oleh kaum kerabat mereka, agar panen tidak digunakan untuk memberi makan pasukan  DI/TII. Dari proses inilah lahir adagium ” Siliwangi adalah Jawa Barat dan Jawa Barat adalah Siliwangi”.
Maka model atau pola hubungan antara Ulama-Umaro yang dikembangkan di Jawa Barat ini kemudian menjadi salah satu prototipe model hubungan ulama dan umaro pada tingkat nasional.
Maka pada tingkat nasional, pada 17 Rajab 1395 bertepatan dengan 26 Juli 1975, atas prakarsa kebijakan Pemerintah dan terapan Menteri Agama RI (Prof.Dr. H.A. Mukti Ali), Prof. Dr. HAMKA dan tokoh Bangsa lainya, dibentuklah Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Musyawarah Nasional I di Jakarta, tanggal 21 – 27 Juli 1958 bertepatan dengan 11 – 17 Rajab 1395.
Majelis Ulama Jawa Barat yang sudah terbentuk jauh sebelumnya sudah barang tentu turut memberikan saran dan pandangan pada pertemuan pembentukan MUI itu.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,bersabda:
"Janganlah kalian mendoakan kejelekan untuk diri sendiri! Janganlah mendoakan kejelekan untuk anak-anak kalian! Janganlah mendoakan kejelekan untuk harta milik kalian! Jangan sampai kalian (berdoa) dan tepat pada waktu yang ditentukan Allah untuk dikabulkan doa padanya, lantas doa kalian diwujudkan."
(HR. Muslim no. 3009, dari Jabir bin Abdillah)

Rabu, 29 Juni 2016

nyastra yukkk

Pelajaran Pertama
Saataku masih belajar
Ku susun huruf menjadi kata lalu kalimat lalu paragraph yang berisi cerita
Tentang hidup memang tak mesti tapi harus dijalani dan disyukuri
Tentang gemerlap kota yang kini nasibnya mulai menjadi jadi

Mereka bahkan lupa akan a ba ta tsa dulu yang diajarkan ditpq
Atau entah mereka tak pernah menginjakan kaki didalam
Hanya diluar lalu kembali pulang bersama angin yang keluar dari telingga sebelah kanan

Gambaran waktu kini pun berubah
Yang dulu tujuh mulai menghilang menjadi lima bahkan entah habis dimakan keserakhan manusia akan dunia yang masih belum jelas arahnya kemana


Yogya , 31 mei 2016

puisi malam

Malam Pertama Yogyakarta

Waktu Menunjukan Pukul Enam Petang Bersama Lalu Lalang Bus Antar Kota Dan Anak Jalanan
Aku Datang Dengan Rintihan Harapan Teringat Besuk Akan Ujian
Bersama Waktu Keselami Hujan Disambut Hangatnya Ayam Bersama Rendang Bak Anak Perantauan Yang Sarat Akan Kemegahan

Malam Pertama Yogyakarta Aku Merintih Bersama Sakit Pada Gigi Yang Tak Kunjung Menghilang Lantas Temani Aku Hingga Pagi

Yogya Bercerita Tentang Cinta

Tentang Perjuangan
Tentang Asa
Tentang Harapan Yang Tak Kunjung Menghilang Sembari Menyapa Takdir Yang Akan Datang


Yogya 31 Mei 2016 

puisiku

Angin



Angin datang, pergi membawa berita
Tentang pagi yang dusta
Tentang siang yang murka
Tentang malam yang taat
Tentang waktu yang hilang
Bersama degupan angin malam
Bersama cinta yang termakan usia
Yang lapuk karena janjinya


Pamotan, 24062016

mari nyastra

A ba ta tsa

Malam bergumam tasbih telah berakhir
Menyisakan luka dalam hati yang mulai muncul
Irama nada yang indah kini akan menghilang
Berganti sunyinya malam dengan gemerlap kembang api menghiasi ruang kota nan kecil ini
Sedih bukan sekedar bungkusan rasa atau bongkahan cerita yang menjadi alur malam yang penuh bahagia menentramkan desa yang indah yang damai yang sejuk yang penuh nuansa a ba ta tsa


Pamotan , 29062016